Sabtu, 05 November 2011

Cerpen

Cafe Terakhir


Kuteguk lagi kopi hitam pekat yang telah tersaji di meja bundar kecil yang ada tepat di depanku. Sambil menoleh ke kaca transparan yang besar di sampingku, matahari menyinari seluruh tubuhku. Pukul delapan pagi dirinya belum datang juga, ku telah mengirim pesan yang telah terkirim delapan kali. Hanya mengingatkannya bahwa diriku telah ada di tempat biasa, pojok kanan cafe tepat disebelah kaca besar depan toko. Masih kutungu dan menunggu selama mungkin, hingga diriku menua. Kesetiaanku pada dirinya tak akan luntur diguyur air sepanas matahari, ataupun sedingin laut atlantik.
“Bim, menurutku dia mungkin ngga akan datang hari ini.”, ucap seorang staf pekerja cafe dengan membawa teko bundar berisi kopi hitam. Celemeknya masih putih bersih dan mulai mendekatkan teko yang dibawanya ke tepi mulut cangkir kopiku yang hampir habis. Menuangkanya hingga penuh. “Mungkin. Benar katamu Dinar”, kujawab dengan cepat dan tetap memandang keluar. Dinar menghembuskan nafasnya dalam-dalam dan berkata, “Sebaiknya kamu siap-siap ke kampus deh. Jam sembilan nanti kamu kuliah kan Bim.”. Tangan Dinar menepuk punggungku dan pergi membawa tekonya.
Kutundukkan kepalaku sesaat, berpikir apa semua ini benar dijalan yang kuingini. Sedikit berharap akan kembali dirinya di pelukku sepertinya akan tidak apa-apa. Tetapi apa yang kulakukan sekarang ini, terlalu berlebih. Merasa hati ini masih miliknya. Aku meneguk kopi terakhir dan menyelempangkan tas samping yang terkulai diam di kursi sebelah. Aku langsung berdiri dan berjalan ke mesin kasir. Kakiku sudah berada tepat di depan mesin kasir dan seorang perempuan yang berjaga menghitung harga kopiku tanpa bertanya apa yang telah aku pesan. Dia sangat rapi dengan kuncir satunya hari ini, rambutnya lurus dan hitam, seperti dirinya. Kumenengok ke kanan dan kiri, berharap dia duduk pada salah satu kursi di sudut lain di cafe itu. Tidak, hanya seorang pria gemuk yang sedang membaca koran dibawah foto besar seorang perempuan tua yang indah. Ia selalu berada disana setiap pagi jam delapan. Di seberangnya, ada seorang wanita setengah baya dengan laptopnya yang terlalu lengket dengan setiap ujung jarinya. Perempuan itu memakai kaca mata tebal dan disampingnya terdiam buku tebal yang ukurannya sedang, pikirku itu sebuah novel.
“Mas. Mas Bima. Mas!”. Ternyata Frida memanggilku berulang kali dan aku tidak mendengarnya sama sekali. “Oh, iya dik. Ada apa ya?”. “Mas. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Mas tahu kan kesehatan mas sekarang bagaimana?”. Aku hanya bisu dengan menghelak napas panjang. Kukeluarkan dompet dan membayar, tanpa harus tahu berapa.
Aku hanya tersenyum kaku kepada Frida yang umurnya lebih muda denganku, lalu pergi menuju pintu masuk. Kumenengok ke belakang sesudah sampai tepat di depan pintu kaca, melihat Dinar melambai dengan wajah aneh dan Frida dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Nanti aku menyusul!”, teriak Bima tanpa menunggu pertanyaanku seperti biasa. Aku tersenyum dan menarik ganggang aluminium pintu kaca. Angin langsung berhembus menabrak sekujur tubuhku, bulu kudukku berdiri tegak merasakan dinginnya angin itu. Kukencangkan jaket dan mulai berjalan meninggalkan cafe.
Pikiranku hampir kosong saat berjalan di pinggiran trotoar jalan, hanya dia dan dia. Apa ini semua salahku? Tidak, itu salahnya. Malam itu, sungguh membuat hatiku seperti terlindas sebuah buldoser. Pasar malam, dimana semua pasangan menghabiskan waktunya hanya berdua di bawah sinar rembulan yang sempurna. Mengabadikan rasa cinta mereka di pinggir danau dan memayunginya dengan kembang api. Kami berdua telah merencanakan semua itu dengan matang, malam minggu yang cerah. Sinar rembulan yang terang menemani jalan kami menuju pasar malam. Dia berkata, “Aku sangat senang pasar malam.”, dengan senyum yang sangat lebar. “Aku senang kalau kamu senang.”, balasku dengan senyuman juga. Tanganku menggandengnya cukup erat, memastikan dia akan selalu berada di sampingku di tengah keramaian.
“Pesan berapa tiket mas?”, tanya seorang perempuan petugas karcis. “Dua mbak.”, jawabku singkat. “Jadi seratus ribu mas.”, sambil tersenyum lebar. Saat kumembayar harga kedua tiket, Mona langsung mencium pipi kananku dan memelukku. Merasakan hal itu, bagaikan dunia ini memang benar-benar milik kami berdua. Setidaknya hanya untuk malam ini saja. Aku tersenyum lebar, senyuman yang indah. Hatiku merona bagai bunga lavender di sore hari. “Selamat menikmati.”, ucap penjaga karcis.
Langkah kami berdua sangatlah cepat saat memasuki gerbang depan pasar malam. Mona menarik tanganku dengan berlari dan tidak jarang ia menoleh kebelakang dengan senyuman penuh keceriaan. “Ayo! Cepat Bim.”, ucap Mona sesekali. Tidak ada yang kupikirkan waktu itu saat melintasi perbatasan, hanya kebahagiaan dirinyalah yang ingin aku abadikan. “Yang mana dulu yah? Bingung aku Bim.” Mona menengok ke kanan dan ke kiri, sesaat pula ia menengok ke arahku meminta untuk aku yang memutuskan. Aku pun tertawa dan berkata, “Yang paling kamu suka yang mana?” “Aku sih yang paling suka itu tembak-tembakan kali ya.” “Oke kalau begitu, ayo!”, aku dengan segera menarik balas tangan Mona untuk menuju ke tujuan yang telah kami tentukan.
Kami tertawa dan bersenang-senang malam itu, cukup dapat memastikan bahwa rencanaku akan berhasil. Membuat dia menjadi tunanganku, sepertinya hal yang akan membuat cinta kami lebih aman dan tidak ada yang mengganggu. Tepat di pinggir danau dengan pantulan cahaya rembulan dan kembang api yang telah terluncur ke angkasa, adalah momentum yang tepat untuk memberikan cincin indah ini kepadanya. Beberapa jam telah berlalu setelah kami memasuki gerbang, terasa satu detik bagiku bersamanya. Aku telah memberikannya gulali warna merah muda, boneka katak warna hijau favorit Mona hasil kemenanganku menembak dengan jitu, sebuah balon warna merah, dan sekantong penuh permen. Festival kembang api akan berlangsung beberapa menit lagi, Mona pun masih terlihat sangat ingin mencicipi wahana-wahana yang lebih menantang yang belum kami naiki. Melihat waktu telah memaksaku untuk cepat melakukan semua rencanaku, aku pun berniat meminta kepadanya untuk pergi ke danau segera. Tetapi sebelum aku mengatakannya Mona berkata, “Ayo kita ke danau, sudah saatnya festival kembang api!”. Waw! apakah ini yang dimaksud orang-orang ikatan batin, pikirku.
Kami sempat berlari menuju pinggir danau. Aku memang lebih memilih tempat yang sunyi, agar apa yang telah kurencanakan akan menjadi momen terindah dalam sejarah cinta kami berdua. Kami berdiri sesaat di pinggir danau dengan kepala menatap ke angkasa yang cerah, berputar-putar dalam satu lingkaran guna mencari salah satu kembang api yang telah diluncurkan. Tidak sengaja aku menabrak pundak Mona dengan dadaku yang bidang. Ia sedikit terlempar dan dengan refleks aku meraihnya, mendekapnya. Mona tertawa kecil dan berkata, “Bim, tolong belikan minuman apa aja. Aku haus.”. Aku melepas dekapanku dan berkata, “Akan datang segera tuan putri Mona.”. Aku berlagak seorang pangeran di kerajaan dengan menundukkan kepalaku dan Mona adalah tuan putrinya, dia hanya tersenyum manis kepadaku. “Cepat pangeranku! Aku sudah haus. Engkau tidak mau kan, jika tuan putrimu ini akan dehidrasi?” “Segera!”, aku mengacungkan jari telunjukku dan berlari cepat menuju pepohonan. Meninggalkan Mona untuk sementara, hanya sementara.
“Pak, dua gelas mocca yah!”, ucapku dengan lebar. Saat aku menunggu, aku sempat mengeluarkan kotak kecil bewarna merah dari saku kananku. Kubuka sesaat, itulah sang hadiah untuk tuan putri. Memintanya untuk menjadi tunanganku seperti menaiki satu anak tangga menuju surga bagiku. “Delapan ribu mas.”, kata penjual stan minuman yang sudah berumur kisaran tiga puluh ke atas dengan membawa dua gelas minuman yang telahku pesan. Aku menutup pelan-pelan kotak itu dan memasukkan kembali kedalam kantong kanan celana. Aku tersenyum kepada penjual dan membayar dengan uang pas. Kuambil kedua gelas itu, dari kejauhanpun orang pada bersorak ria dan ledakan kembang api telah terdengar menggeram. Aku dengan cekatan berlari melewati keramaian, tidak peduli teriakan yang terlalu membisingkan telinga dan tawaan itu membuatku lebih bersemangat untuk melakukan ha indah ini. Aku tersenyum sangat lebar, jantung yang semakin berdetak kencang memberikan energi cinta lebih banyak dan pelarianku ini memberikan suasana sejuk yang takkan terlupakan pikirku.
Lariku terhenti di bawah pohon dalam kegelapan, tidak jauh dari tempatku meninggalkan Mona. Kumenatap tajam kearah kedua pasangan yang sedang bepelukan mesra dan bersiuman dengan mesranya. Aku harap aku dapat melakukan hal seperti itu dengan Mona, tetapi dimana Mona sekarang? Kemana dia pergi? Saat kumelangkah lebih dekat menuju pinggir danau, mataku melihat perempuan itu menggunakan warna baju yang sama dengan baju Mona. Rambutnya pun sama. Saat ledakan kembang api tepat di atas kepalaku, dengan sekelibat cahaya menerangi seluruh tepi danau bahkan bayangan dalam lebatnya pepohonan di belakangku sirna seketika. Semuanya pun terkuak sudah, Monalah yang sedang berpelukan dengan seorang pria. Ciumannya begitu serius, membuat jantungku tergencet sangat kuat. Mulutku menganga lebar dan aku tak sengaja menjatuhkan kedua gelas mocca itu. Semua cairan itu terbuang ke tanah dengan sia-sia, cairan cinta dalam hatiku pun juga. Badanku tergoncang sangat hebat, tanganku bergetar dan kepalaku terasa pusing. Mereka pun berhenti berpelukan dan Mona menoleh cepat ke arahku. Dia sangat tergoncang saat mengetahui keberadaanku dan berkata dengan pelan, “Bima.” Aku pun berteriak sangat keras dan berlari mendekati mereka. Hanya ingin memberikan suatu pukulan kepalan tanganku kepada sang lelaki. Kupukulkan rasa ini tepat ke arah mukanya. Ia pun terjatuh tanpa ada suatu perlawanan, aku pun mengunci tubuhnya dengan kedua kakiku dan memukulnya lagi hingga aku merasa puas. Saat ku berdiri dan mengambil napas, wajah laki-laki itu terlihat. Yang ternyata adalah sahabatku, kami telah bersama semajak di sekolah dasar. Tetapi mengapa? Mengapa seperti ini? Aku hanya berkata dengan heran, “Angga? Kenapa?”
Ia hanya terbatuk-batuk dan tidak begitu sadar, tidak mengatakan sepatah kata pun kepadaku. Lalu kuberpaling kepada Mona, yang terlihat tak berdaya sama sekali. “Maafin aku Bim.”, kata Mona sambil menangis. “Maafin? Lalu apa semua ini? Apa kamu buta Mon? Aku sudah memberikan hatiku ke kamu, bahkan apa pun yang kamu inginkan selalu aku turuti. Apa yang kurang?”, teriakku pada Mona. Mona hanya menangis dengan mulut menganga. Tampak ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tidak segera mengucapkannya. “Hubungan kita sudah selesai Mona! Selesai!”, kulangkahkan kakiku meniggalkan Mona dengan pengkianat itu. Pikiranku kosong saat aku meninggalkannya, sudah terlalu penuh dengan rasa amarah dan sakit yang bergejolak. Otak pun tidak berpikir, bagaimana aku melihat hatiku yang berada di pusat kehidupan tubuhku, sungguh tidak ada waktu.
***
“Awas!”, seorang perempuan yang menaiki motor matik berteriak. Aku tidak sadar aku telah berada di tengah persimpangan jalan, tepat di zebra cross. Motornya tidak terkendali agar tidak menabrakku, ia pun jatuh menabrak pot-pot bunga di pinggir jalan. “Haduh! Bunga-bungaku!”, teriak penjual bunga. Aku tidak tergores sedikitpun, maka aku pun menghampiri sang pengendara motor. Berharap ia tidak apa-apa. “Kamu ngga apa-apa kan?”, tanyaku sambil membantu dirinya berdiri. Bajunya bermandikan tanah dan pupuk yang teraduk menjadi satu, perempuan itu langsung berusaha mencoba memastikan tidak ada luka pada dirinya. Ia terlihat sibuk membersihkan bajunya, maka aku memberdirikan motornya yang bewarna merah mengkilap. Kupasang standarnya dan sedikit melihat mesin motor itu, tidak ada kerusakan yang buruk menurutku. “Kalian harus mengganti semua ini!”, teriak penjual bunga yang sudah setengah baya. “Berapa semuanya pak?”, tanyaku dengan tenang. “Satu Juta!”, teriaknya dengan mengacungkan jari telunjuknya. “Apa? Tapi ini kan cuman menabrak satu per lima bagian keseluruhan toko bapak. Bapak bercanda ya?” “Tidak! Saya tidak bercanda. Untuk jaga-jaga saja.” “Berarti sama saja bapak memeras saya itu namanya.” “Tenang, bapak punya mesin kredit kan?”, perempuan itu memotong secara tiba-tiba. “Punya.” “Ini.”, perempuan itu langsung mengeluarkan kartu kredit dari dompet coklat miliknya . “Bukannya yang harus bayar itu saya?”, tanyaku. Ia hanya menggeleng. “Em, kamu ngga apa-apa kan?”, tanyaku kembali. Perempuan itu menoleh sesaat dan membuka helm yang ia kenakan. Aku kira dirinya berambut pendek dan sangat tomboi, tetapi di dalam helm itu tersimpan wajah yang sangat indah. Seindah kupu-kupu biru di hutan rimba. Matanya sangat tajam, setajam mata jaguar. Rambutnya panjang yang terkulai lemas seindah kain sutra, sangat berkebalikan dengan apa yang telah tergambar dalam benakku. “Baik. Tenang aja, ngga usah tegang kaya gitu.”, ia tersenyum lebar sambil menepuk pundak bagian belakangku beberapa kali. “Aku minta maaf ya.”, kujulurkan tangaku. Tetapi ia menggeleng dan berkata, “Itu bukan salahmu.”
“Ini mbak, terima kasih.”, ucap penjual bunga tiba-tiba. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku dari dirinya, aku merasakan sesuatu dari dalam diriku akan dirinya. Aku merasa nyaman dan tenang, untuk pertama kalinya.
“Tunggu dulu, siapa namamu?” tanyaku saat ia mulai menaiki motor matiknya dan bersiap-siap pergi.
“Bernadeth Biofa Melani, salam kenal ya. Kalau kamu?”
“Stevanus Bima Vibrano.”
“Nama yang bagus.”
“Kamu juga.”
Biofa tersenyum kembali dan berkata, “Semoga kita bertemu lagi lain kali ya, Bima.” “Tentunya.”, jawabku singkat. Tetapi hatiku berkata harus akan itu. “Eits, tapi bentar dulu. Ini buat kamu, sebagai tanda maafku.”, aku memberkan sekuntum bunga mawar putih yang sudah tergeletak di tanah. “Terima kasih Bim.”, ucapnya setelah menghirup aroma bunga itu. Lalu ia menaruh bunga itu di saku bajunya dan melambai kecil kepadaku. Aku membalas melambai hingga ia benar-benar pergi melanjutkan perjalanan yang entah kemana. Aku sedikit resah akan kepergiannya, aku ingin selalu dekat dengan dirinya dan baru kali ini aku dapat menghilangkan pikiranku akan si perempuan tidak tahu malu, Mona.
Langkah kakiku sampailah di kampus dan aku melihat dua pengkianat ada di selasar koridor. Aku tidak perduli dengan mereka, pengkianat akan tetap selalu menjadi pengkianat. Tidak akan kukembalikan rasa kepercayaanku pada mereka. Mona, dari namanya saja aku telah muak mendengarnya. Kenapa aku mengirim pesan berkali-kali itu padanya? Tidak berguna, apa lagi dia tidak membalas apa pun. Ayolah Bima, perbaiki kerja otakmu itu! Itu kejadian masa lampau yang tidak perlu diingat-ingat, lupakan wanita jalang itu.
Bulan telah kembali, aku duduk santai di cafe tempat bekerja Danar dan tetap berada di tempat favoritku bersama Mona. Aku masih bermimpi Mona ada di depan tatapan mataku, tersenyum dengan berpangku kedua tangannya di atas meja. Pikiranku terlalu bingung, di satu sisi aku sangat kehilangan Mona yang aku cintai, tetapi di sisi lain aku sangat membencinya.
“Bima!”, terdengar suara perempuan yang memanggilku dari sisi lain cafe. Suara itu sudah pernah aku dengar sebelumnya, cukup familiar. Aku melihat tangan melambai di balik kerumunan penyanyi yang menyanyikan lagu jazz, memang malam itu sedang diadakan lomba jazz. Aku suka lagu tipe itu.
Aku berdiri sejenak, yang ternyata adalah Biofa. Aku merubah raut mukaku yang awalnya sedikit murung menjadi bahagia. “Sini!”, ajaknya. Aku dengan cepat memakai tas sampingku, membawa handphone dan secangkir kopiku menuju mejanya. “Ternyata kamu disini juga Fa? Sejak kapan?”, tanyaku sambil menduduki kursi yang tepat berada di seberangnya. “Sekitar jam enam, kamu Bim?” “Aku jam tujuh, pantesan aja aku ngga ngelihat kamu.” “Kamu juga sering kesini?” “Iya. Setiap cafe ini buka, sampai jam delapan pagi.” “Wah, ngga nyangka.” “Ngga nyangka apa maksudmu Fa?” “Kita itu sebenarnya berada di tempat yang sama setiap harinya , tapi kita ngga pernah ketemu.”. “Bagaimana bisa?” “Aku setiap pagi juga datang kesini, setiap jam sembilan sampai jam dua belas.” “Waw! Berarti waktu tadi pagi itu kamu pergi kesini?” “Iya.”
“Bim!”, seseorang menepuk pundakku dari belakang yang ternyata itu adalah Danar. “Eh, Danar! Kenalin ini Biofa.” “Ngga perlu kamu kenalin aku sama dia, aku udah kenal kok.”. Biofa tersenyum sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanannya. “Dia itu pelanggan setia cafe ini. Iya kan Det?”, tanya Danar. “Ah kamu terlalu.”. “Ternyata kalian sudah saling kenal?”, tanya Dinar kepada kami berdua.
“Tentulah. Barusan aja tadi pagi.”, jawabku. “Gimana ceritanya?”, tanya Dinar ingin tahu. “Semua itu karena kesalahanku Nar, aku ngga lihat kiri kanan waktu di perempatan. Terus ada Biofa lewat, naik motor. Eh, bukannya nabrak aku malah nabrak pot bunga.”, aku sedikit tertawa akan hal itu. “Tahu kah kamu Bim, aku melihat perubahan pada diriu malam ini. Teruskan yah!”, ucap Dinar kepadaku. “Aku mau nerusin kerjaku dulu, nanti pak manager marah lagi. Selamat menikmati.”, Dinar meninggalkan kami berdua dan kembali ke dapur cafe. “Tadi aku dengar Dinar meminta kamu untuk meneruskan. Meneruskan apa?”, tanya Biofa ingin tahu. “Tidak penting, itu cuman masa lalu.”, Biofa pun terdiam sesaat. “Tadi waktu aku di depan cafe, ngga lihat motor kamu. Diperbaiki yah? Ada yang rusak?”. Biofa tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Ada-ada aja kamu Bim, engga apa-apa. Ngga ada yang rusak sama sekali. Aku kesini jalan kaki.” “Memang rumah kamudeket dari sini?” “Aku ngekost. Aku kuliah di fakultas peternakan. Kalau kamu di fakultas apa Bim?” “Aku di fakultas teknik.” “Teknik apa?” “Teknik lingkungan.”
Malam itu kami bercanda tawa, tidak mengenal waktu. Aku merasa itu adalah kencan. “Waduh, sudah jam sepuluh Fa. Aku kan kuliah pagi. Aku pulang dulu ya.”, aku langsung memasukkan handphoneku kedalam tas. “Aku sekalian. Jalan bareng yuk!”, ajak Biofa. “Boleh, tetapi memang tujuan kita sama?”. “Oh iya juga ya, itu masalah gampang!”, Biofa dengan cepat menarik lengan kananku menuju ke kasir. Pada saat itu aku belum berdiri tegak, maka langkah kakiku belum begitu terarah. Aku sempat menabrak beberapa meja dan hampir menabrak Dinar yang sedang membawa nampan penuh dengan enam gelas berisi bir. “Hati-hati Bim.”, ucap Danar sambil tersenyum.
“Semuanya berapa ya dhik?”, tanya Biofa pada Firda. “Meja sepuluh, lima puluh ribu mbak Det. “Loh, loh, loh. Mbak Det sama mas Bim uda kenal toh?”, tanya Firda saat melihatku ada di samping Biofa. “Gimana ceritanya?”, tanya Firda lagi. “Udah nanti aku ceritain deh di belakang.”, sela Dinar setelah kembali dengan nampan kosong. “Sip deh! Mas Bima sekalian dihitung?” “Mana bisa dihitung? Bisanya dicium tuh!”, teriak Danar dari kejauhan. “Iya.”, jawabku dari pertanyaan Firda. “Oh jadi kamu pingin dicium.”, Bofa langsung mencium pipi kananku secara tiba-tiba. Aku melihat Biofa sesaat, matanya penuh dengan harapan. Hatiku berdetak sangat kencang, melihatnya memandangku seperti itu.
“Tiga puluh mas.”, ucap Firda dengan pandangan sangat aneh kepadaku dan sama halnya dengan pandangan Dinar. Tetapi Dinar lebih menampakkan rasa bahagia. “Aku bayar semuanya aja.”, sambil mengeluarkan uang. Dengan sigap aku memegang tanganya dan berkata, “Tidak baik jika perempuan yang membayar. Laki-laki yang harus membayar.” Dengan perlahan ia menurunkan tangannya dan aku yang membayar itu semua.
“Musik jazzny indah.”, ungkap Biofa saat keluar dari cafe. “Iya, kamu suka ya musik jazz?”, tanyaku sambil berjalan bersama Biofa di pinggiran jalan yang dingin setelah diguyur hujan. “Iya, musik jazz memberikan rasa tenang bagiku.”, sambil memegang dadanya sendiri. “Dan juga memberikan rasa hangat menurutku.”
Biofa langsung melilitkan tangannya ke tanganku dan menyampirkan kepalanya di pundakku. “Aku kangen dengan kakakku. Kamu mengingatkanku pada kakakku Bim.” “Oh ya?” “Rumah kamu dimana sih Bim?” “Lurus terus sampai blok ke empat, lalu belok kiri. Rumah kelima itu kost-kostanku.” “Kamu juga kost ternyata? Jadi kita harus berpisah di persimpangan awal kita bertemu.” “Memang kamu kost dimana Fa?” “Belok kiri hingga blok ke dua, lalu belok kiri lagi. Rumah ke tujuh, itulah kost-kostan aku.”.
Aku berpikir, semoga jalan yang kami lalui ini tidak berujung dan tidak akan pernah sampai ke persimpangan itu. Aku ingin selalu seperti ini. “Jadi, sampai sekian perjumpaan kita malam ini Bim. Akhir dari hari yang panjang.”, Biofa melepaskan tangannya setelah sampai di persimpangan. “Tetapi bukan akhir dari segalanya.”, ucapku perlahan. “Oke sampai jumpa besok malam di cafe yang sama.”, ucap Biofa sambil berjalan menjauhiku. “Sampai jumpa.”, aku pun melakukan hal yang sama. Ada rasa yang tak terucap, tapi aku tidak tahu apa itu. Masih ada sesuatu yang menjadikanku kurang sempurna malam itu. Tetapi Biofa berteriak memanggilku, aku pun menoleh ke arahnya. Biofa langsung meloncat kearahku, menjinjitkan kakinya dan menempelkan bibirnya ke bibirku. Kedua tangannya merangkulku di pundak, kedua tanganku merangkul pinggangnya. Kucurahkan apa yang ada di hati dalam kecupan itu. Kecupan manis yang tidak akan hilang, yang tidak akan diberikan oleh siapapun, bahkan Mona sekalipun.

Bunga dan Kupu-Kupu

 
Angin berdesir agak kencang, ketika aku terus mengayuh sepedaku dengan cepat. Waktu terus mengejarku. Ku lihat jam tangan bututku yang kubeli dengan tabunganku sendiri. Sesekali tanganku menyeka keringat yang terkadang jatuh. Beberapa kali aku hampir menabrak orang yang kebetulan lewat dan berlalu lalang di jalan yang aku lewati. Ahh, ku akui, ini bukan yang aku inginkan. Namun takdir memaksaku. Begitupula ustadzku di pesantren terus menerus mengajari ikhlas dan qanaah, menerima apa adanya rizki dari Allah. Jadilah aku, satu-satunya mahasiswa di kampusku yang berangkat memakai sepeda. Setiap hari, selalu mengayuh sepedaku dengan niat mencari ilmu. Awal kali, karena tekanan orang tua. Namun akhirnya, karena sudah biasa, ya kunikmati saja. Toh, selain sehat, juga irit. Aku tidak perlu untuk membeli bensin jika aku naik motor, atau membayar supir, jika aku naik angkot.
Pernah suatu hari, aku diejek oleh anak sekampusku. Waktu itu, aku datang agak terlambat, sedangkan dia sedang tidak ada kuliah. Melihat aku terburu-buru setelah turun dari sepeda, dia bersama teman-temannya datang menghampiriku. Mereka lalu menyapaku, sok akrab. Lalu memulai pembicaraan “Halo kawan, apa kabar” katanya terdengar ramah. “Alhamdulillah, baik. Maaf ya, aku buru-buru, sudah terlambat”. Lalu aku berlalu cepat meninggalkannya. Sekilas kulihat ekspresi wajahnya, sedikit marah. Namun tak kuperdulikan.
Lalu setelah semua kuliah selesai hari itu, aku berjalan menuju ke tempat sepedaku kuparkir. Naas, ban sepedaku pecah. Bayangkan, tidak hanya bocor, tapi pecah!. Waktu itu, aku hampir marah sama keadaan. “Siapa yang tega melakukan ini?!” batinku. Namun, aku kembali ingat pelajaran yang telah diberikan oleh ustadzku “Barang siapa yang sabar, dia akan memperoleh kemuliaan”. Lalu kutenangkan kembali perasaanku. Lalu aku ke masjid kampus, untuk kembali sejenak menangkan fikiran. Uhh. Sabaar. Saat itulah, anak yang tadi pagi, berjalan menghampiriku. Bersama teman-temannya, mereka kembali menyapa. Aku balas sapaan mereka seramah mungkin. Kulihat wajahnya, tersenyum sinis. Lalu membuka pembicaraan “Kenapa bung, bannya pecah yaa??, kasihaan. Hahaha. Makannya, kalo miskin itu, gak usah belagu. Pake kuliah segala. Ada orang kuliah jaman sekarang kok pake sepeda butut kayak gitu. Dirongsokin aja, gak laku. Mencemarkan nama baik kampus, tau gak lo, hah!! Memalukan!!! Dasar gembel!!”
Dalam hati, aku marah dikatain seperti itu. Tapi aku tetap mencoba tenang. Perlahan, aku mencoba untuk tersenyum, lalu kujawab “Maaf, agamamu apa?”. Kulihat mukanya agak masam. “Apa urusan lo, gembel!” Aku mencoba terus bersabar, dan kembali bertanya “Agamamu apa?”. Gak hanya dia, teman-temannya juga terlihat tersinggung. “Entah agamamu apa. Jika kamu seorang Hindu, ajaran Hindu mengajarkan agar kita melepaskan diri dari keterikatan kita pada dunia. Artinya, rela hidup menjadi gembel. Jika agamamu Budha, kau pasti tahu, siapa Budha itu. Ia adalah seseorang yang tadinya kaya, bahkan anak seorang raja. Namun dia malah memilih hidup menjadi gembel. Jika agamamu Kristen, entah apa aliranmu. Kau tahu, bahwa Yesus adalah orang yang kalau jaman sekarang, bisa juga disebut gembel. Bahkan dia gak milih tinggal bersama para raja, ketika pemerintah menawarkan kekuasaannya dengan syarat, dia meninggalkan ajarannya. Dan jika kau Islam, kau pasti tahu bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang sangat sederhana. Bahkan pernah berminggu-minggu dapur beliau tidak mengepul. Kawan…” “Diam kau!! Kalo mau ceramah, jangan di sini, di masjid sana!!” potongnya.
Namun aku cepat menyahut “Semua agama mengajarkan kesederhanaan. Dan semua tokoh besar pendiri agama, hidup dengan cara sederhana dan secukupnya. Tidak berlebih-lebihan dan saling menghormati. Bahkan sebagian mereka adalah orang yang hidupnya lebih memperihatinkan daripada aku. Jika kau mengejek aku gembel, berarti kau lebih menghina mereka. Karena secara transparannya, harta dunia mereka lebih sedikit dari yang aku punya. Maaf sudah sore, assalamu’alaikum”.
Lalu aku bergegas setelah memberikan ceramah pendek itu kepadanya. Sekilas wajahnya geram dan kelihatan marah. Namun, aku tidak perduli. Walaupun aku tahu, pasti mereka yang memecahkan ban sepedaku. Namun aku memilih pergi, dari pada berurusan lagi dengan mereka. Lalu aku melangkah menuju sepedaku, dan menuntunnya pulang. Sambil berharap, ada mobil pick up lewat.
Sampat pada suatu hari, di bulan Ramadhan. Waktu itu aku ditunjuk untuk memberikan kultum singkat, di sebuah acara di kampus. Acara itu diadakan sampai malam hari, karena selain buka puasa bareng juga diadakan tarawih bareng dan mabit (menginap) di kampus. Mirip waktu kami pekan perkenalan dulu. Setelah tarawih berjama’ah, waktunya aku menyampaikan isi materiku. Aku ditunjuk karena ada teman yang mengetahui bahwa aku adalah lulusan pesantren. Iseng, dia mengusulkan namaku untuk ceramah. Dan celakanya, hal itu disetujui oleh panitia acara.
Dengan mebucap bismillah, aku maju di depan panggung. Lalu perlahan, aku mengucapkan salam. Mataku mencoba menyapu ke seluruh ruangan. Kudapati, anak yang dulu mengerjai aku duduk di sana. Berarti dia Islam. Aku tersenyum. Perlahan, kutata perasaanku. “Man jadda wajada, siapa yang berusaha keras, pasti akan berhasil” batinku
“Yang saya hormati, bapak dekan kampus kita tercinta ini. Segenap pengurus kampus, para dosen, dan tidak ketinggalan semua teman-teman mahasiswa yang berbahagia. Puji syukur ke hadirat Allah yang Maha Pemberi Nikmat, karena dengan nikmatnyalah, kita dapat berkumpul di acara ini, tanpa suatu halangan apapun. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad sallaahu ‘alaihi wa sallam. Kepada kerabat dan sahabatnya. Dan semoga kita termasuk umat beliau yang mendapatkan syafa’at beliau di hari kiamat nanti, amin
“Hadirin yang dirahmati Allah. Dalam Surat At-Tin, Allah berfirman manusia diciptakan dalam wujud yang sebaik-baiknya. Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim. Dan itu patut kita syukuri bersama. Kita dikaruniai akal yang sangat berharga. Yang mana tidak semua makhluk hidup memilikinya. Dan kita semua tahu, bahwa manusialah khalifah, pemimpin di muka bumi ini. Namun, jangan senang dulu. Karena pada ayat berikutnya, diakatakan, tsumma radadnaa hu asfala saafiliin. Kemudian Kami, Allah, mengembalikannya pada tempat yang serendah-rendahnya. Bayangkan. Kita adalah makhluk paling mulia sekarang, namun akan dikembalikan ke tempat yang paling rendah. Illalladziina aamanuu wa ‘amilush shaalihaati, falahum ajrun ghairu mamnuun. Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat baik, maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.
“Perhatikanlah! Ayat ini menunjukkan, bahwa semua manusia akan dikembalikan ke tempat yang paling rendah, tempat paling rendah! Dan kita semua tahu, bahwa tempat yang paling rendah, adalah neraka! Ada yang mau masuk neraka? Pasti gak lah. Gak ada orang yang bakat masuk neraka dan gak ada yang mau. Namun, ada pengecualian. Yaitu orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Perhatikan, orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Jadi, bukan orang kaya, pejabat, atau orang yang hebat saja yang berksempatan untuk tidak dilemparkan ke neraka. Asal beriman dan beramal shalih. Semua orang memiliki potensi, bukan?
“Derajat manusia semua sama di sisi Allah. Yang membedakan adalah derajat ketakwaan. Bukan diukur dari keelokan tubuh, ketampanan, kecantikan, kekayaan, pangkat, dan hal-hal lain yang berbau dunia. Sering kita sombong dengan apa yang kita punya. Ada orang yang cantik atau tampannya luar biasa, namun mengatakan orang lain buruk rupa. Ada yang jabatannya tinggi, menindas bawahannya dengan semena-mena. Ada yang sangat kaya dan mengatakan orang lain gembel. Dan hal-hal lain yang menunjukkan kesombongan. Mereka lupa, bahwa apa yang mereka punya bisa saja diambil paksa oleh Allah. Karena semua adalah milik-Nya. Orang yang wajahnya tampan atau cantik, bisa saja dalam sekejap kecelakaan dan mengakibatkan wajahnya buruk rupa. Yang punya jabatan bisa saja tiba-tiba digeser dari kedudukannya.
“Orang kaya bisa saja rumahnya terbakar dalam sekejap, mengakibatkan seluruh hartanya lenyap tak tersisa. Tidak ada yang patut kita sombongkan. Karena semua adalah milik Allah. Lagipula, di dalam perut kita, kita membawa kotoran ke mana-mana. Kotoran yang sangat menjijikan.
“Manusia memang makhluk mulia. Namun jarang yang memanfaatkan kemuliaannya untuk hal yang baik. Bahkan sering merendahkan yang lainnya. Padahal yang berhak sombong, hanyalah Allah. Karena hanya Dialah yang tanpa kekurangan. Demikian yang dapat saya sampaikan. Kurang lebihnya saya mohon maaf. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”
Lalu aku turun mimbar. Kudengar tepuk tangan yang meriah dari teman-teman dan para dosen. Aku hanya tersenyum. Lega sudah beban hari itu. Beberapa teman yang duduk di sampingku, menyalamiku, mengucapkan selamat. Dan ada pula yang berterimakasih padaku. Aku menjawab, itu karena hari ini aku apes disuruh maju memberikan ceramah. Padahal aku tidak mau. Dan perkataanku ini disambut tawa oleh para sahabatku.
Sesaat, ketika setelah semua acara selesai, dan aku beranjak pergi menuju ruangan yang telah disediakan oleh panitia untuk menginap, seseorang menghampiri dan memanggilku. Dari jauh, susah untuk mengenalinya karena aku menderita rabun jauh. Setelah agak dekat, aku baru tahu bahwa anak itulah yang dulu memecahkan ban sepedaku. Aku berperasangka buruk, mungkin dia akan kembali mengejekku. Namun kuhapus perasangka itu, karena kata ustadzku, berperasangka buruk pada orang lain bukan ciri muslim sejati. Aku mencoba tersenyum menyambut kedatangannya. Lalu dia mengucap salam “Assalamu’alaikum, masih ingat saya?” “Wa’alaikum salam. Iya. Ada perlu apa?”. Lalu dia mengajak berkenalan. Dari lidahnya, kutahu namanya Alan.
Dia lalu meminta maaf atas kenakalannya waktu itu. Aku hanya tertawa kecil “Gak papa” kataku. Lalu kami ngobrol bersama di serambi masjid, basa basi. Kulihat, wajahnya sudah agak terlihat bersahabat. Tidak seperti waktu aku pertama bertemu dengannya. Dia ternyata orangnya asik dan menyenangkan.
Lalu mulai saat itu berteman akrab, dan sesekali kami tertawa mengingat waktu pertama kali bertemu. Dia yang sok kaya, bertarung melawanku yang sok seperti ulama, menceramahinya. “Hahah, lucu. Sekali lagi aku minta maaf ya?” katanya pada suatu hari “Udahlah, biasa aja”
Hingga suatu hari…
Saat itu hujan lebat. Dia tiba-tiba datang ke rumahku. Aku kaget sekali. “Asad, aku punya permintaan. Maukah kau membantuku?” “Apa itu? Kalo bisa, pasti aku bantu” Kulihat wajahnya keluar banyak keringat. Bibirnya bergetar, seakan menanggung beban. “Tolonglah aku, ajari aku mengaji, membaca Al-Qur’an. Telah banyak ilmu yang dapat aku serap dari hubunganku berteman denganmu. Secara tidak langsung, aku sudah menjadi muridmu. Dan kini, aku ingin menjadi muridmu, Tolong ajari aku membaca Al-Qur’an. Aku tahu, aku terlihat bodoh. Namun bukankah kau pernah berkata, gak ada kata terlambat untuk belajar? Ajari aku ya, Sad?” Sesaat aku bingung. Ini sama sekali gak lucu. Aku saja masih gak fasih dalam membaca Al-Qur’an, masak mau ngajari orang lain? “Gak ah Lan. Aku belum fasih. Tolong jangan aku”. Namun dia tetap memaksaku dan memohon kepadaku.
“Baiklah. Insya Allah, aku sanggup. Tapi, ku gak mau kau anggap sebagai gurumu. Sebagai patner belajar aja, gimana?” “Terserah kamu deh. Yang penting bisa belajar ngaji sama kamu, ya?” katanya, dengan wajah yang lucu. Ternyata, dibalik wajah angkuhnya dulu, dia bisa dibilang cukup manja. Terbukti dengan ekspresinya sekarang, saat merayuku. “Insya Allah”. Kulihat, dia senang sekali. Lalu meraih tanganku dan hendak mencium punggung tanganku. Namun cepat-cepat kutarik kembali tanganku itu “Biasa aja ah” “Oke, pak ustadz, haha”. Kami tertawa bersama. Pertemanan kami semakin akrab. Kami saling membutuhkan dalam hal apapun, melebihi hubungan antara bunga dan kupu-kupu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar