Kuteguk
lagi kopi hitam pekat yang telah tersaji di meja bundar kecil yang ada
tepat di depanku. Sambil menoleh ke kaca transparan yang besar di
sampingku, matahari menyinari seluruh tubuhku. Pukul delapan pagi
dirinya belum datang juga, ku telah mengirim pesan yang telah terkirim
delapan kali. Hanya mengingatkannya bahwa diriku telah ada di tempat
biasa, pojok kanan cafe tepat disebelah kaca besar depan toko. Masih
kutungu dan menunggu selama mungkin, hingga diriku menua. Kesetiaanku
pada dirinya tak akan luntur diguyur air sepanas matahari, ataupun
sedingin laut atlantik.
“Bim, menurutku dia mungkin ngga akan datang hari ini.”, ucap seorang
staf pekerja cafe dengan membawa teko bundar berisi kopi hitam.
Celemeknya masih putih bersih dan mulai mendekatkan teko yang dibawanya
ke tepi mulut cangkir kopiku yang hampir habis. Menuangkanya hingga
penuh. “Mungkin. Benar katamu Dinar”, kujawab dengan cepat dan tetap
memandang keluar. Dinar menghembuskan nafasnya dalam-dalam dan berkata,
“Sebaiknya kamu siap-siap ke kampus deh. Jam sembilan nanti kamu kuliah
kan Bim.”. Tangan Dinar menepuk punggungku dan pergi membawa tekonya.
Kutundukkan kepalaku sesaat, berpikir apa semua ini benar dijalan yang
kuingini. Sedikit berharap akan kembali dirinya di pelukku sepertinya
akan tidak apa-apa. Tetapi apa yang kulakukan sekarang ini, terlalu
berlebih. Merasa hati ini masih miliknya. Aku meneguk kopi terakhir dan
menyelempangkan tas samping yang terkulai diam di kursi sebelah. Aku
langsung berdiri dan berjalan ke mesin kasir. Kakiku sudah berada tepat
di depan mesin kasir dan seorang perempuan yang berjaga menghitung harga
kopiku tanpa bertanya apa yang telah aku pesan. Dia sangat rapi dengan
kuncir satunya hari ini, rambutnya lurus dan hitam, seperti dirinya.
Kumenengok ke kanan dan kiri, berharap dia duduk pada salah satu kursi
di sudut lain di cafe itu. Tidak, hanya seorang pria gemuk yang sedang
membaca koran dibawah foto besar seorang perempuan tua yang indah. Ia
selalu berada disana setiap pagi jam delapan. Di seberangnya, ada
seorang wanita setengah baya dengan laptopnya yang terlalu lengket
dengan setiap ujung jarinya. Perempuan itu memakai kaca mata tebal dan
disampingnya terdiam buku tebal yang ukurannya sedang, pikirku itu
sebuah novel.
“Mas. Mas Bima. Mas!”. Ternyata Frida memanggilku berulang kali dan aku
tidak mendengarnya sama sekali. “Oh, iya dik. Ada apa ya?”. “Mas. Jangan
menyiksa dirimu sendiri. Mas tahu kan kesehatan mas sekarang
bagaimana?”. Aku hanya bisu dengan menghelak napas panjang. Kukeluarkan
dompet dan membayar, tanpa harus tahu berapa.
Aku hanya tersenyum kaku kepada Frida yang umurnya lebih muda denganku,
lalu pergi menuju pintu masuk. Kumenengok ke belakang sesudah sampai
tepat di depan pintu kaca, melihat Dinar melambai dengan wajah aneh dan
Frida dengan menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Nanti aku
menyusul!”, teriak Bima tanpa menunggu pertanyaanku seperti biasa. Aku
tersenyum dan menarik ganggang aluminium pintu kaca. Angin langsung
berhembus menabrak sekujur tubuhku, bulu kudukku berdiri tegak merasakan
dinginnya angin itu. Kukencangkan jaket dan mulai berjalan meninggalkan
cafe.
Pikiranku hampir kosong saat berjalan di pinggiran trotoar jalan, hanya
dia dan dia. Apa ini semua salahku? Tidak, itu salahnya. Malam itu,
sungguh membuat hatiku seperti terlindas sebuah buldoser. Pasar malam,
dimana semua pasangan menghabiskan waktunya hanya berdua di bawah sinar
rembulan yang sempurna. Mengabadikan rasa cinta mereka di pinggir danau
dan memayunginya dengan kembang api. Kami berdua telah merencanakan
semua itu dengan matang, malam minggu yang cerah. Sinar rembulan yang
terang menemani jalan kami menuju pasar malam. Dia berkata, “Aku sangat
senang pasar malam.”, dengan senyum yang sangat lebar. “Aku senang kalau
kamu senang.”, balasku dengan senyuman juga. Tanganku menggandengnya
cukup erat, memastikan dia akan selalu berada di sampingku di tengah
keramaian.
“Pesan berapa tiket mas?”, tanya seorang perempuan petugas karcis. “Dua
mbak.”, jawabku singkat. “Jadi seratus ribu mas.”, sambil tersenyum
lebar. Saat kumembayar harga kedua tiket, Mona langsung mencium pipi
kananku dan memelukku. Merasakan hal itu, bagaikan dunia ini memang
benar-benar milik kami berdua. Setidaknya hanya untuk malam ini saja.
Aku tersenyum lebar, senyuman yang indah. Hatiku merona bagai bunga
lavender di sore hari. “Selamat menikmati.”, ucap penjaga karcis.
Langkah kami berdua sangatlah cepat saat memasuki gerbang depan pasar
malam. Mona menarik tanganku dengan berlari dan tidak jarang ia menoleh
kebelakang dengan senyuman penuh keceriaan. “Ayo! Cepat Bim.”, ucap Mona
sesekali. Tidak ada yang kupikirkan waktu itu saat melintasi
perbatasan, hanya kebahagiaan dirinyalah yang ingin aku abadikan. “Yang
mana dulu yah? Bingung aku Bim.” Mona menengok ke kanan dan ke kiri,
sesaat pula ia menengok ke arahku meminta untuk aku yang memutuskan. Aku
pun tertawa dan berkata, “Yang paling kamu suka yang mana?” “Aku sih
yang paling suka itu tembak-tembakan kali ya.” “Oke kalau begitu, ayo!”,
aku dengan segera menarik balas tangan Mona untuk menuju ke tujuan yang
telah kami tentukan.
Kami tertawa dan bersenang-senang malam itu, cukup dapat memastikan
bahwa rencanaku akan berhasil. Membuat dia menjadi tunanganku,
sepertinya hal yang akan membuat cinta kami lebih aman dan tidak ada
yang mengganggu. Tepat di pinggir danau dengan pantulan cahaya rembulan
dan kembang api yang telah terluncur ke angkasa, adalah momentum yang
tepat untuk memberikan cincin indah ini kepadanya. Beberapa jam telah
berlalu setelah kami memasuki gerbang, terasa satu detik bagiku
bersamanya. Aku telah memberikannya gulali warna merah muda, boneka
katak warna hijau favorit Mona hasil kemenanganku menembak dengan jitu,
sebuah balon warna merah, dan sekantong penuh permen. Festival kembang
api akan berlangsung beberapa menit lagi, Mona pun masih terlihat sangat
ingin mencicipi wahana-wahana yang lebih menantang yang belum kami
naiki. Melihat waktu telah memaksaku untuk cepat melakukan semua
rencanaku, aku pun berniat meminta kepadanya untuk pergi ke danau
segera. Tetapi sebelum aku mengatakannya Mona berkata, “Ayo kita ke
danau, sudah saatnya festival kembang api!”. Waw! apakah ini yang
dimaksud orang-orang ikatan batin, pikirku.
Kami sempat berlari menuju pinggir danau. Aku memang lebih memilih
tempat yang sunyi, agar apa yang telah kurencanakan akan menjadi momen
terindah dalam sejarah cinta kami berdua. Kami berdiri sesaat di pinggir
danau dengan kepala menatap ke angkasa yang cerah, berputar-putar dalam
satu lingkaran guna mencari salah satu kembang api yang telah
diluncurkan. Tidak sengaja aku menabrak pundak Mona dengan dadaku yang
bidang. Ia sedikit terlempar dan dengan refleks aku meraihnya,
mendekapnya. Mona tertawa kecil dan berkata, “Bim, tolong belikan
minuman apa aja. Aku haus.”. Aku melepas dekapanku dan berkata, “Akan
datang segera tuan putri Mona.”. Aku berlagak seorang pangeran di
kerajaan dengan menundukkan kepalaku dan Mona adalah tuan putrinya, dia
hanya tersenyum manis kepadaku. “Cepat pangeranku! Aku sudah haus.
Engkau tidak mau kan, jika tuan putrimu ini akan dehidrasi?” “Segera!”,
aku mengacungkan jari telunjukku dan berlari cepat menuju pepohonan.
Meninggalkan Mona untuk sementara, hanya sementara.
“Pak, dua gelas mocca yah!”, ucapku dengan lebar. Saat aku menunggu, aku
sempat mengeluarkan kotak kecil bewarna merah dari saku kananku. Kubuka
sesaat, itulah sang hadiah untuk tuan putri. Memintanya untuk menjadi
tunanganku seperti menaiki satu anak tangga menuju surga bagiku.
“Delapan ribu mas.”, kata penjual stan minuman yang sudah berumur
kisaran tiga puluh ke atas dengan membawa dua gelas minuman yang telahku
pesan. Aku menutup pelan-pelan kotak itu dan memasukkan kembali kedalam
kantong kanan celana. Aku tersenyum kepada penjual dan membayar dengan
uang pas. Kuambil kedua gelas itu, dari kejauhanpun orang pada bersorak
ria dan ledakan kembang api telah terdengar menggeram. Aku dengan
cekatan berlari melewati keramaian, tidak peduli teriakan yang terlalu
membisingkan telinga dan tawaan itu membuatku lebih bersemangat untuk
melakukan ha indah ini. Aku tersenyum sangat lebar, jantung yang semakin
berdetak kencang memberikan energi cinta lebih banyak dan pelarianku
ini memberikan suasana sejuk yang takkan terlupakan pikirku.
Lariku terhenti di bawah pohon dalam kegelapan, tidak jauh dari tempatku
meninggalkan Mona. Kumenatap tajam kearah kedua pasangan yang sedang
bepelukan mesra dan bersiuman dengan mesranya. Aku harap aku dapat
melakukan hal seperti itu dengan Mona, tetapi dimana Mona sekarang?
Kemana dia pergi? Saat kumelangkah lebih dekat menuju pinggir danau,
mataku melihat perempuan itu menggunakan warna baju yang sama dengan
baju Mona. Rambutnya pun sama. Saat ledakan kembang api tepat di atas
kepalaku, dengan sekelibat cahaya menerangi seluruh tepi danau bahkan
bayangan dalam lebatnya pepohonan di belakangku sirna seketika. Semuanya
pun terkuak sudah, Monalah yang sedang berpelukan dengan seorang pria.
Ciumannya begitu serius, membuat jantungku tergencet sangat kuat.
Mulutku menganga lebar dan aku tak sengaja menjatuhkan kedua gelas mocca
itu. Semua cairan itu terbuang ke tanah dengan sia-sia, cairan cinta
dalam hatiku pun juga. Badanku tergoncang sangat hebat, tanganku
bergetar dan kepalaku terasa pusing. Mereka pun berhenti berpelukan dan
Mona menoleh cepat ke arahku. Dia sangat tergoncang saat mengetahui
keberadaanku dan berkata dengan pelan, “Bima.” Aku pun berteriak sangat
keras dan berlari mendekati mereka. Hanya ingin memberikan suatu pukulan
kepalan tanganku kepada sang lelaki. Kupukulkan rasa ini tepat ke arah
mukanya. Ia pun terjatuh tanpa ada suatu perlawanan, aku pun mengunci
tubuhnya dengan kedua kakiku dan memukulnya lagi hingga aku merasa puas.
Saat ku berdiri dan mengambil napas, wajah laki-laki itu terlihat. Yang
ternyata adalah sahabatku, kami telah bersama semajak di sekolah dasar.
Tetapi mengapa? Mengapa seperti ini? Aku hanya berkata dengan heran,
“Angga? Kenapa?”
Ia hanya terbatuk-batuk dan tidak begitu sadar, tidak mengatakan sepatah
kata pun kepadaku. Lalu kuberpaling kepada Mona, yang terlihat tak
berdaya sama sekali. “Maafin aku Bim.”, kata Mona sambil menangis.
“Maafin? Lalu apa semua ini? Apa kamu buta Mon? Aku sudah memberikan
hatiku ke kamu, bahkan apa pun yang kamu inginkan selalu aku turuti. Apa
yang kurang?”, teriakku pada Mona. Mona hanya menangis dengan mulut
menganga. Tampak ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi tidak segera
mengucapkannya. “Hubungan kita sudah selesai Mona! Selesai!”,
kulangkahkan kakiku meniggalkan Mona dengan pengkianat itu. Pikiranku
kosong saat aku meninggalkannya, sudah terlalu penuh dengan rasa amarah
dan sakit yang bergejolak. Otak pun tidak berpikir, bagaimana aku
melihat hatiku yang berada di pusat kehidupan tubuhku, sungguh tidak ada
waktu.
***
“Awas!”, seorang perempuan yang menaiki motor matik berteriak. Aku tidak
sadar aku telah berada di tengah persimpangan jalan, tepat di zebra
cross. Motornya tidak terkendali agar tidak menabrakku, ia pun jatuh
menabrak pot-pot bunga di pinggir jalan. “Haduh! Bunga-bungaku!”, teriak
penjual bunga. Aku tidak tergores sedikitpun, maka aku pun menghampiri
sang pengendara motor. Berharap ia tidak apa-apa. “Kamu ngga apa-apa
kan?”, tanyaku sambil membantu dirinya berdiri. Bajunya bermandikan
tanah dan pupuk yang teraduk menjadi satu, perempuan itu langsung
berusaha mencoba memastikan tidak ada luka pada dirinya. Ia terlihat
sibuk membersihkan bajunya, maka aku memberdirikan motornya yang bewarna
merah mengkilap. Kupasang standarnya dan sedikit melihat mesin motor
itu, tidak ada kerusakan yang buruk menurutku. “Kalian harus mengganti
semua ini!”, teriak penjual bunga yang sudah setengah baya. “Berapa
semuanya pak?”, tanyaku dengan tenang. “Satu Juta!”, teriaknya dengan
mengacungkan jari telunjuknya. “Apa? Tapi ini kan cuman menabrak satu
per lima bagian keseluruhan toko bapak. Bapak bercanda ya?” “Tidak! Saya
tidak bercanda. Untuk jaga-jaga saja.” “Berarti sama saja bapak memeras
saya itu namanya.” “Tenang, bapak punya mesin kredit kan?”, perempuan
itu memotong secara tiba-tiba. “Punya.” “Ini.”, perempuan itu langsung
mengeluarkan kartu kredit dari dompet coklat miliknya . “Bukannya yang
harus bayar itu saya?”, tanyaku. Ia hanya menggeleng. “Em, kamu ngga
apa-apa kan?”, tanyaku kembali. Perempuan itu menoleh sesaat dan membuka
helm yang ia kenakan. Aku kira dirinya berambut pendek dan sangat
tomboi, tetapi di dalam helm itu tersimpan wajah yang sangat indah.
Seindah kupu-kupu biru di hutan rimba. Matanya sangat tajam, setajam
mata jaguar. Rambutnya panjang yang terkulai lemas seindah kain sutra,
sangat berkebalikan dengan apa yang telah tergambar dalam benakku.
“Baik. Tenang aja, ngga usah tegang kaya gitu.”, ia tersenyum lebar
sambil menepuk pundak bagian belakangku beberapa kali. “Aku minta maaf
ya.”, kujulurkan tangaku. Tetapi ia menggeleng dan berkata, “Itu bukan
salahmu.”
“Ini mbak, terima kasih.”, ucap penjual bunga tiba-tiba. Aku tidak bisa
melepaskan pandanganku dari dirinya, aku merasakan sesuatu dari dalam
diriku akan dirinya. Aku merasa nyaman dan tenang, untuk pertama
kalinya.
“Tunggu dulu, siapa namamu?” tanyaku saat ia mulai menaiki motor matiknya dan bersiap-siap pergi.
“Bernadeth Biofa Melani, salam kenal ya. Kalau kamu?”
“Stevanus Bima Vibrano.”
“Nama yang bagus.”
“Kamu juga.”
Biofa tersenyum kembali dan berkata, “Semoga kita bertemu lagi lain kali
ya, Bima.” “Tentunya.”, jawabku singkat. Tetapi hatiku berkata harus
akan itu. “Eits, tapi bentar dulu. Ini buat kamu, sebagai tanda
maafku.”, aku memberkan sekuntum bunga mawar putih yang sudah tergeletak
di tanah. “Terima kasih Bim.”, ucapnya setelah menghirup aroma bunga
itu. Lalu ia menaruh bunga itu di saku bajunya dan melambai kecil
kepadaku. Aku membalas melambai hingga ia benar-benar pergi melanjutkan
perjalanan yang entah kemana. Aku sedikit resah akan kepergiannya, aku
ingin selalu dekat dengan dirinya dan baru kali ini aku dapat
menghilangkan pikiranku akan si perempuan tidak tahu malu, Mona.
Langkah kakiku sampailah di kampus dan aku melihat dua pengkianat ada di
selasar koridor. Aku tidak perduli dengan mereka, pengkianat akan tetap
selalu menjadi pengkianat. Tidak akan kukembalikan rasa kepercayaanku
pada mereka. Mona, dari namanya saja aku telah muak mendengarnya. Kenapa
aku mengirim pesan berkali-kali itu padanya? Tidak berguna, apa lagi
dia tidak membalas apa pun. Ayolah Bima, perbaiki kerja otakmu itu! Itu
kejadian masa lampau yang tidak perlu diingat-ingat, lupakan wanita
jalang itu.
Bulan telah kembali, aku duduk santai di cafe tempat bekerja Danar dan
tetap berada di tempat favoritku bersama Mona. Aku masih bermimpi Mona
ada di depan tatapan mataku, tersenyum dengan berpangku kedua tangannya
di atas meja. Pikiranku terlalu bingung, di satu sisi aku sangat
kehilangan Mona yang aku cintai, tetapi di sisi lain aku sangat
membencinya.
“Bima!”, terdengar suara perempuan yang memanggilku dari sisi lain cafe.
Suara itu sudah pernah aku dengar sebelumnya, cukup familiar. Aku
melihat tangan melambai di balik kerumunan penyanyi yang menyanyikan
lagu jazz, memang malam itu sedang diadakan lomba jazz. Aku suka lagu
tipe itu.
Aku berdiri sejenak, yang ternyata adalah Biofa. Aku merubah raut mukaku
yang awalnya sedikit murung menjadi bahagia. “Sini!”, ajaknya. Aku
dengan cepat memakai tas sampingku, membawa handphone dan secangkir
kopiku menuju mejanya. “Ternyata kamu disini juga Fa? Sejak kapan?”,
tanyaku sambil menduduki kursi yang tepat berada di seberangnya.
“Sekitar jam enam, kamu Bim?” “Aku jam tujuh, pantesan aja aku ngga
ngelihat kamu.” “Kamu juga sering kesini?” “Iya. Setiap cafe ini buka,
sampai jam delapan pagi.” “Wah, ngga nyangka.” “Ngga nyangka apa
maksudmu Fa?” “Kita itu sebenarnya berada di tempat yang sama setiap
harinya , tapi kita ngga pernah ketemu.”. “Bagaimana bisa?” “Aku setiap
pagi juga datang kesini, setiap jam sembilan sampai jam dua belas.”
“Waw! Berarti waktu tadi pagi itu kamu pergi kesini?” “Iya.”
“Bim!”, seseorang menepuk pundakku dari belakang yang ternyata itu
adalah Danar. “Eh, Danar! Kenalin ini Biofa.” “Ngga perlu kamu kenalin
aku sama dia, aku udah kenal kok.”. Biofa tersenyum sambil menutupi
mulutnya dengan tangan kanannya. “Dia itu pelanggan setia cafe ini. Iya
kan Det?”, tanya Danar. “Ah kamu terlalu.”. “Ternyata kalian sudah
saling kenal?”, tanya Dinar kepada kami berdua.
“Tentulah. Barusan aja tadi pagi.”, jawabku. “Gimana ceritanya?”, tanya
Dinar ingin tahu. “Semua itu karena kesalahanku Nar, aku ngga lihat kiri
kanan waktu di perempatan. Terus ada Biofa lewat, naik motor. Eh,
bukannya nabrak aku malah nabrak pot bunga.”, aku sedikit tertawa akan
hal itu. “Tahu kah kamu Bim, aku melihat perubahan pada diriu malam ini.
Teruskan yah!”, ucap Dinar kepadaku. “Aku mau nerusin kerjaku dulu,
nanti pak manager marah lagi. Selamat menikmati.”, Dinar meninggalkan
kami berdua dan kembali ke dapur cafe. “Tadi aku dengar Dinar meminta
kamu untuk meneruskan. Meneruskan apa?”, tanya Biofa ingin tahu. “Tidak
penting, itu cuman masa lalu.”, Biofa pun terdiam sesaat. “Tadi waktu
aku di depan cafe, ngga lihat motor kamu. Diperbaiki yah? Ada yang
rusak?”. Biofa tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Ada-ada aja kamu
Bim, engga apa-apa. Ngga ada yang rusak sama sekali. Aku kesini jalan
kaki.” “Memang rumah kamudeket dari sini?” “Aku ngekost. Aku kuliah di
fakultas peternakan. Kalau kamu di fakultas apa Bim?” “Aku di fakultas
teknik.” “Teknik apa?” “Teknik lingkungan.”
Malam itu kami bercanda tawa, tidak mengenal waktu. Aku merasa itu
adalah kencan. “Waduh, sudah jam sepuluh Fa. Aku kan kuliah pagi. Aku
pulang dulu ya.”, aku langsung memasukkan handphoneku kedalam tas. “Aku
sekalian. Jalan bareng yuk!”, ajak Biofa. “Boleh, tetapi memang tujuan
kita sama?”. “Oh iya juga ya, itu masalah gampang!”, Biofa dengan cepat
menarik lengan kananku menuju ke kasir. Pada saat itu aku belum berdiri
tegak, maka langkah kakiku belum begitu terarah. Aku sempat menabrak
beberapa meja dan hampir menabrak Dinar yang sedang membawa nampan penuh
dengan enam gelas berisi bir. “Hati-hati Bim.”, ucap Danar sambil
tersenyum.
“Semuanya berapa ya dhik?”, tanya Biofa pada Firda. “Meja sepuluh, lima
puluh ribu mbak Det. “Loh, loh, loh. Mbak Det sama mas Bim uda kenal
toh?”, tanya Firda saat melihatku ada di samping Biofa. “Gimana
ceritanya?”, tanya Firda lagi. “Udah nanti aku ceritain deh di
belakang.”, sela Dinar setelah kembali dengan nampan kosong. “Sip deh!
Mas Bima sekalian dihitung?” “Mana bisa dihitung? Bisanya dicium tuh!”,
teriak Danar dari kejauhan. “Iya.”, jawabku dari pertanyaan Firda. “Oh
jadi kamu pingin dicium.”, Bofa langsung mencium pipi kananku secara
tiba-tiba. Aku melihat Biofa sesaat, matanya penuh dengan harapan.
Hatiku berdetak sangat kencang, melihatnya memandangku seperti itu.
“Tiga puluh mas.”, ucap Firda dengan pandangan sangat aneh kepadaku dan
sama halnya dengan pandangan Dinar. Tetapi Dinar lebih menampakkan rasa
bahagia. “Aku bayar semuanya aja.”, sambil mengeluarkan uang. Dengan
sigap aku memegang tanganya dan berkata, “Tidak baik jika perempuan yang
membayar. Laki-laki yang harus membayar.” Dengan perlahan ia menurunkan
tangannya dan aku yang membayar itu semua.
“Musik jazzny indah.”, ungkap Biofa saat keluar dari cafe. “Iya, kamu
suka ya musik jazz?”, tanyaku sambil berjalan bersama Biofa di pinggiran
jalan yang dingin setelah diguyur hujan. “Iya, musik jazz memberikan
rasa tenang bagiku.”, sambil memegang dadanya sendiri. “Dan juga
memberikan rasa hangat menurutku.”
Biofa langsung melilitkan tangannya ke tanganku dan menyampirkan
kepalanya di pundakku. “Aku kangen dengan kakakku. Kamu mengingatkanku
pada kakakku Bim.” “Oh ya?” “Rumah kamu dimana sih Bim?” “Lurus terus
sampai blok ke empat, lalu belok kiri. Rumah kelima itu kost-kostanku.”
“Kamu juga kost ternyata? Jadi kita harus berpisah di persimpangan awal
kita bertemu.” “Memang kamu kost dimana Fa?” “Belok kiri hingga blok ke
dua, lalu belok kiri lagi. Rumah ke tujuh, itulah kost-kostan aku.”.
Aku berpikir, semoga jalan yang kami lalui ini tidak berujung dan tidak
akan pernah sampai ke persimpangan itu. Aku ingin selalu seperti ini.
“Jadi, sampai sekian perjumpaan kita malam ini Bim. Akhir dari hari yang
panjang.”, Biofa melepaskan tangannya setelah sampai di persimpangan.
“Tetapi bukan akhir dari segalanya.”, ucapku perlahan. “Oke sampai jumpa
besok malam di cafe yang sama.”, ucap Biofa sambil berjalan menjauhiku.
“Sampai jumpa.”, aku pun melakukan hal yang sama. Ada rasa yang tak
terucap, tapi aku tidak tahu apa itu. Masih ada sesuatu yang
menjadikanku kurang sempurna malam itu. Tetapi Biofa berteriak
memanggilku, aku pun menoleh ke arahnya. Biofa langsung meloncat
kearahku, menjinjitkan kakinya dan menempelkan bibirnya ke bibirku.
Kedua tangannya merangkulku di pundak, kedua tanganku merangkul
pinggangnya. Kucurahkan apa yang ada di hati dalam kecupan itu. Kecupan
manis yang tidak akan hilang, yang tidak akan diberikan oleh siapapun,
bahkan Mona sekalipun.
Bunga dan Kupu-Kupu
|
|
Angin
berdesir agak kencang, ketika aku terus mengayuh sepedaku dengan cepat.
Waktu terus mengejarku. Ku lihat jam tangan bututku yang kubeli dengan
tabunganku sendiri. Sesekali tanganku menyeka keringat yang terkadang
jatuh. Beberapa kali aku hampir menabrak orang yang kebetulan lewat dan
berlalu lalang di jalan yang aku lewati. Ahh, ku akui, ini bukan yang
aku inginkan. Namun takdir memaksaku. Begitupula ustadzku di pesantren
terus menerus mengajari ikhlas dan qanaah, menerima apa adanya rizki
dari Allah. Jadilah aku, satu-satunya mahasiswa di kampusku yang
berangkat memakai sepeda. Setiap hari, selalu mengayuh sepedaku dengan
niat mencari ilmu. Awal kali, karena tekanan orang tua. Namun akhirnya,
karena sudah biasa, ya kunikmati saja. Toh, selain sehat, juga irit. Aku
tidak perlu untuk membeli bensin jika aku naik motor, atau membayar
supir, jika aku naik angkot.
Pernah suatu hari, aku diejek oleh anak sekampusku. Waktu itu, aku
datang agak terlambat, sedangkan dia sedang tidak ada kuliah. Melihat
aku terburu-buru setelah turun dari sepeda, dia bersama teman-temannya
datang menghampiriku. Mereka lalu menyapaku, sok akrab. Lalu memulai
pembicaraan “Halo kawan, apa kabar” katanya terdengar ramah.
“Alhamdulillah, baik. Maaf ya, aku buru-buru, sudah terlambat”. Lalu aku
berlalu cepat meninggalkannya. Sekilas kulihat ekspresi wajahnya,
sedikit marah. Namun tak kuperdulikan.
Lalu setelah semua kuliah selesai hari itu, aku berjalan menuju ke
tempat sepedaku kuparkir. Naas, ban sepedaku pecah. Bayangkan, tidak
hanya bocor, tapi pecah!. Waktu itu, aku hampir marah sama keadaan.
“Siapa yang tega melakukan ini?!” batinku. Namun, aku kembali ingat
pelajaran yang telah diberikan oleh ustadzku “Barang siapa yang sabar,
dia akan memperoleh kemuliaan”. Lalu kutenangkan kembali perasaanku.
Lalu aku ke masjid kampus, untuk kembali sejenak menangkan fikiran. Uhh.
Sabaar. Saat itulah, anak yang tadi pagi, berjalan menghampiriku.
Bersama teman-temannya, mereka kembali menyapa. Aku balas sapaan mereka
seramah mungkin. Kulihat wajahnya, tersenyum sinis. Lalu membuka
pembicaraan “Kenapa bung, bannya pecah yaa??, kasihaan. Hahaha.
Makannya, kalo miskin itu, gak usah belagu. Pake kuliah segala. Ada
orang kuliah jaman sekarang kok pake sepeda butut kayak gitu.
Dirongsokin aja, gak laku. Mencemarkan nama baik kampus, tau gak lo,
hah!! Memalukan!!! Dasar gembel!!”
Dalam hati, aku marah dikatain seperti itu. Tapi aku tetap mencoba
tenang. Perlahan, aku mencoba untuk tersenyum, lalu kujawab “Maaf,
agamamu apa?”. Kulihat mukanya agak masam. “Apa urusan lo, gembel!” Aku
mencoba terus bersabar, dan kembali bertanya “Agamamu apa?”. Gak hanya
dia, teman-temannya juga terlihat tersinggung. “Entah agamamu apa. Jika
kamu seorang Hindu, ajaran Hindu mengajarkan agar kita melepaskan diri
dari keterikatan kita pada dunia. Artinya, rela hidup menjadi gembel.
Jika agamamu Budha, kau pasti tahu, siapa Budha itu. Ia adalah seseorang
yang tadinya kaya, bahkan anak seorang raja. Namun dia malah memilih
hidup menjadi gembel. Jika agamamu Kristen, entah apa aliranmu. Kau
tahu, bahwa Yesus adalah orang yang kalau jaman sekarang, bisa juga
disebut gembel. Bahkan dia gak milih tinggal bersama para raja, ketika
pemerintah menawarkan kekuasaannya dengan syarat, dia meninggalkan
ajarannya. Dan jika kau Islam, kau pasti tahu bahwa Nabi Muhammad adalah
orang yang sangat sederhana. Bahkan pernah berminggu-minggu dapur
beliau tidak mengepul. Kawan…” “Diam kau!! Kalo mau ceramah, jangan di
sini, di masjid sana!!” potongnya.
Namun aku cepat menyahut “Semua agama mengajarkan kesederhanaan. Dan
semua tokoh besar pendiri agama, hidup dengan cara sederhana dan
secukupnya. Tidak berlebih-lebihan dan saling menghormati. Bahkan
sebagian mereka adalah orang yang hidupnya lebih memperihatinkan
daripada aku. Jika kau mengejek aku gembel, berarti kau lebih menghina
mereka. Karena secara transparannya, harta dunia mereka lebih sedikit
dari yang aku punya. Maaf sudah sore, assalamu’alaikum”.
Lalu aku bergegas setelah memberikan ceramah pendek itu kepadanya.
Sekilas wajahnya geram dan kelihatan marah. Namun, aku tidak perduli.
Walaupun aku tahu, pasti mereka yang memecahkan ban sepedaku. Namun aku
memilih pergi, dari pada berurusan lagi dengan mereka. Lalu aku
melangkah menuju sepedaku, dan menuntunnya pulang. Sambil berharap, ada
mobil pick up lewat.
Sampat pada suatu hari, di bulan Ramadhan. Waktu itu aku ditunjuk
untuk memberikan kultum singkat, di sebuah acara di kampus. Acara itu
diadakan sampai malam hari, karena selain buka puasa bareng juga
diadakan tarawih bareng dan mabit (menginap) di kampus. Mirip waktu kami
pekan perkenalan dulu. Setelah tarawih berjama’ah, waktunya aku
menyampaikan isi materiku. Aku ditunjuk karena ada teman yang mengetahui
bahwa aku adalah lulusan pesantren. Iseng, dia mengusulkan namaku untuk
ceramah. Dan celakanya, hal itu disetujui oleh panitia acara.
Dengan mebucap bismillah, aku maju di depan panggung. Lalu perlahan,
aku mengucapkan salam. Mataku mencoba menyapu ke seluruh ruangan.
Kudapati, anak yang dulu mengerjai aku duduk di sana. Berarti dia Islam.
Aku tersenyum. Perlahan, kutata perasaanku. “Man jadda wajada, siapa
yang berusaha keras, pasti akan berhasil” batinku
“Yang saya hormati, bapak dekan kampus kita tercinta ini. Segenap
pengurus kampus, para dosen, dan tidak ketinggalan semua teman-teman
mahasiswa yang berbahagia. Puji syukur ke hadirat Allah yang Maha
Pemberi Nikmat, karena dengan nikmatnyalah, kita dapat berkumpul di
acara ini, tanpa suatu halangan apapun. Shalawat dan salam semoga tetap
tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad sallaahu ‘alaihi wa
sallam. Kepada kerabat dan sahabatnya. Dan semoga kita termasuk umat
beliau yang mendapatkan syafa’at beliau di hari kiamat nanti, amin
“Hadirin yang dirahmati Allah. Dalam Surat At-Tin, Allah berfirman
manusia diciptakan dalam wujud yang sebaik-baiknya. Laqad khalaqnal
insaana fii ahsani taqwiim. Dan itu patut kita syukuri bersama. Kita
dikaruniai akal yang sangat berharga. Yang mana tidak semua makhluk
hidup memilikinya. Dan kita semua tahu, bahwa manusialah khalifah,
pemimpin di muka bumi ini. Namun, jangan senang dulu. Karena pada ayat
berikutnya, diakatakan, tsumma radadnaa hu asfala saafiliin. Kemudian
Kami, Allah, mengembalikannya pada tempat yang serendah-rendahnya.
Bayangkan. Kita adalah makhluk paling mulia sekarang, namun akan
dikembalikan ke tempat yang paling rendah. Illalladziina aamanuu wa
‘amilush shaalihaati, falahum ajrun ghairu mamnuun. Kecuali orang-orang
yang beriman dan berbuat baik, maka bagi mereka pahala yang tiada
terputus.
“Perhatikanlah! Ayat ini menunjukkan, bahwa semua manusia akan
dikembalikan ke tempat yang paling rendah, tempat paling rendah! Dan
kita semua tahu, bahwa tempat yang paling rendah, adalah neraka! Ada
yang mau masuk neraka? Pasti gak lah. Gak ada orang yang bakat masuk
neraka dan gak ada yang mau. Namun, ada pengecualian. Yaitu orang-orang
yang beriman dan beramal shalih. Perhatikan, orang-orang yang beriman
dan beramal shalih. Jadi, bukan orang kaya, pejabat, atau orang yang
hebat saja yang berksempatan untuk tidak dilemparkan ke neraka. Asal
beriman dan beramal shalih. Semua orang memiliki potensi, bukan?
“Derajat manusia semua sama di sisi Allah. Yang membedakan adalah
derajat ketakwaan. Bukan diukur dari keelokan tubuh, ketampanan,
kecantikan, kekayaan, pangkat, dan hal-hal lain yang berbau dunia.
Sering kita sombong dengan apa yang kita punya. Ada orang yang cantik
atau tampannya luar biasa, namun mengatakan orang lain buruk rupa. Ada
yang jabatannya tinggi, menindas bawahannya dengan semena-mena. Ada yang
sangat kaya dan mengatakan orang lain gembel. Dan hal-hal lain yang
menunjukkan kesombongan. Mereka lupa, bahwa apa yang mereka punya bisa
saja diambil paksa oleh Allah. Karena semua adalah milik-Nya. Orang yang
wajahnya tampan atau cantik, bisa saja dalam sekejap kecelakaan dan
mengakibatkan wajahnya buruk rupa. Yang punya jabatan bisa saja
tiba-tiba digeser dari kedudukannya.
“Orang kaya bisa saja rumahnya terbakar dalam sekejap, mengakibatkan
seluruh hartanya lenyap tak tersisa. Tidak ada yang patut kita
sombongkan. Karena semua adalah milik Allah. Lagipula, di dalam perut
kita, kita membawa kotoran ke mana-mana. Kotoran yang sangat menjijikan.
“Manusia memang makhluk mulia. Namun jarang yang memanfaatkan
kemuliaannya untuk hal yang baik. Bahkan sering merendahkan yang
lainnya. Padahal yang berhak sombong, hanyalah Allah. Karena hanya
Dialah yang tanpa kekurangan. Demikian yang dapat saya sampaikan. Kurang
lebihnya saya mohon maaf. Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh”
Lalu aku turun mimbar. Kudengar tepuk tangan yang meriah dari
teman-teman dan para dosen. Aku hanya tersenyum. Lega sudah beban hari
itu. Beberapa teman yang duduk di sampingku, menyalamiku, mengucapkan
selamat. Dan ada pula yang berterimakasih padaku. Aku menjawab, itu
karena hari ini aku apes disuruh maju memberikan ceramah. Padahal aku
tidak mau. Dan perkataanku ini disambut tawa oleh para sahabatku.
Sesaat, ketika setelah semua acara selesai, dan aku beranjak pergi
menuju ruangan yang telah disediakan oleh panitia untuk menginap,
seseorang menghampiri dan memanggilku. Dari jauh, susah untuk
mengenalinya karena aku menderita rabun jauh. Setelah agak dekat, aku
baru tahu bahwa anak itulah yang dulu memecahkan ban sepedaku. Aku
berperasangka buruk, mungkin dia akan kembali mengejekku. Namun kuhapus
perasangka itu, karena kata ustadzku, berperasangka buruk pada orang
lain bukan ciri muslim sejati. Aku mencoba tersenyum menyambut
kedatangannya. Lalu dia mengucap salam “Assalamu’alaikum, masih ingat
saya?” “Wa’alaikum salam. Iya. Ada perlu apa?”. Lalu dia mengajak
berkenalan. Dari lidahnya, kutahu namanya Alan.
Dia lalu meminta maaf atas kenakalannya waktu itu. Aku hanya tertawa
kecil “Gak papa” kataku. Lalu kami ngobrol bersama di serambi masjid,
basa basi. Kulihat, wajahnya sudah agak terlihat bersahabat. Tidak
seperti waktu aku pertama bertemu dengannya. Dia ternyata orangnya asik
dan menyenangkan.
Lalu mulai saat itu berteman akrab, dan sesekali kami tertawa
mengingat waktu pertama kali bertemu. Dia yang sok kaya, bertarung
melawanku yang sok seperti ulama, menceramahinya. “Hahah, lucu. Sekali
lagi aku minta maaf ya?” katanya pada suatu hari “Udahlah, biasa aja”
Hingga suatu hari…
Saat itu hujan lebat. Dia tiba-tiba datang ke rumahku. Aku kaget
sekali. “Asad, aku punya permintaan. Maukah kau membantuku?” “Apa itu?
Kalo bisa, pasti aku bantu” Kulihat wajahnya keluar banyak keringat.
Bibirnya bergetar, seakan menanggung beban. “Tolonglah aku, ajari aku
mengaji, membaca Al-Qur’an. Telah banyak ilmu yang dapat aku serap dari
hubunganku berteman denganmu. Secara tidak langsung, aku sudah menjadi
muridmu. Dan kini, aku ingin menjadi muridmu, Tolong ajari aku membaca
Al-Qur’an. Aku tahu, aku terlihat bodoh. Namun bukankah kau pernah
berkata, gak ada kata terlambat untuk belajar? Ajari aku ya, Sad?”
Sesaat aku bingung. Ini sama sekali gak lucu. Aku saja masih gak fasih
dalam membaca Al-Qur’an, masak mau ngajari orang lain? “Gak ah Lan. Aku
belum fasih. Tolong jangan aku”. Namun dia tetap memaksaku dan memohon
kepadaku.
“Baiklah. Insya Allah, aku sanggup. Tapi, ku gak mau kau anggap
sebagai gurumu. Sebagai patner belajar aja, gimana?” “Terserah kamu deh.
Yang penting bisa belajar ngaji sama kamu, ya?” katanya, dengan wajah
yang lucu. Ternyata, dibalik wajah angkuhnya dulu, dia bisa dibilang
cukup manja. Terbukti dengan ekspresinya sekarang, saat merayuku. “Insya
Allah”. Kulihat, dia senang sekali. Lalu meraih tanganku dan hendak
mencium punggung tanganku. Namun cepat-cepat kutarik kembali tanganku
itu “Biasa aja ah” “Oke, pak ustadz, haha”. Kami tertawa bersama.
Pertemanan kami semakin akrab. Kami saling membutuhkan dalam hal apapun,
melebihi hubungan antara bunga dan kupu-kupu.
|
|